Oleh: Waliyudin, Dosen Bahasa, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Bima.
Bima, Zonakasus.com - Salah satu sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia adalah bahasa (Littlejohn, 1996). Dalam konteks bahasa, isyarat terbentuk melalui pengelompokan elemen-elemen yang memiliki makna.
Suara-suara disusun menjadi frasa-frasa, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat untuk mengekspresikan konsep atau objek tertentu. Meskipun bahasa pada dasarnya bersifat netral sebagai alat komunikasi, namun penggunaannya dapat diarahkan ke arah yang positif atau negatif.
Bahasa memiliki peran krusial dalam menyampaikan informasi, namun dapat menjadi alat yang membingungkan atau menyesatkan jika penggunaannya tidak terbatas dengan jelas, terutama dalam konteks hubungan antara politisi dan masyarakatnya.
Dalam banyak kasus, politisi cenderung mengaburkan fakta-fakta yang mungkin tidak menyenangkan bagi masyarakat, menciptakan makna yang keliru atau disalahartikan oleh publik.
Politisi cenderung tidak akan secara langsung mengakui kesalahan dengan mengatakan, "saya bersalah," tetapi lebih cenderung menggunakan ungkapan seperti, "maaf, saya khilaf.
Dari fakta tersebut, bahasa memiliki peran yang sangat signifikan sebagai faktor determinan dalam pola pikir setiap individu, termasuk politisi.
Mereka dapat memanfaatkan bahasa sebagai alat komunikasi politik untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Dengan demikian, penggunaan bahasa oleh politisi tidak hanya mencerminkan komunikasi verbal, tetapi juga merupakan strategi politik yang digunakan untuk memanipulasi persepsi dan memelihara legitimasi kekuasaan mereka.
Distorsi bahasa dalam komunikasi politik dapat terlihat melalui berbagai bentuk, seperti bahasa yang digunakan sebagai topeng, pura-pura lupa, representasi, dan ideologi (Lubis, 1989).
Penggunaan bahasa yang terdistorsi ini seringkali bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kekuasaan yang dimiliki oleh mereka. Dalam berbagai situasi komunikasi, politisi cenderung menggunakan bahasa yang terdistorsi untuk menyampaikan ide, pemikiran, atau konsep kepada masyarakat.
Bahasa sebagai topeng/distorsi merujuk pada pengungkapan suatu hal dengan kata-kata yang lebih halus, seperti eufemisme, untuk menyembunyikan kondisi sebenarnya.
Contoh penggunaan kata seperti dalam ungkapan "Saudara kami amankan ke kantor polisi" menunjukkan penggunaan eufemisme, di mana makna entitas tetap tidak berubah.
Namun, terdapat pula bahasa topeng yang menampilkan suatu realitas yang berbeda dengan makna sebenarnya, seperti dalam ungkapan "biar harimau di dalam, domba juga yang dikeluarkan."
Pentingnya masalah bahasa topeng terlihat jelas ketika dikaitkan dengan komunikasi politik. Praktik bahasa seperti ini menjadi perhatian serius karena melibatkan isu-isu yang secara langsung memengaruhi kehidupan dan nilai-nilai masyarakat.
Jika kita dapat menerima praktik bahasa topeng dalam komunikasi sosial biasa, sulit untuk membenarkannya dalam konteks komunikasi politik.
Dalam panggung politik, seni manipulasi bahasa telah menjadi senjata yang tak terhindarkan. Politikus pandai dan tahu bahwa kata-kata adalah alat yang kuat, dan mereka menggunakannya untuk menciptakan pandangan yang diinginkan, merancang narasi, dan mempengaruhi pandangan publik.
Saat kita memasuki era informasi digital, di mana pesan politik tersebar dengan cepat melalui peningkatan intensitas penggunaan media sosial sebagai saluran utama untuk menyampaikan pesan politik, serta fenomena penyebaran informasi yang cepat, terkadang tanpa verifikasi yang memadai.
Beberapa contoh nyata termasuk kasus berita palsu atau hoaks yang dapat dengan cepat merusak opini publik dan memengaruhi pandangan politik.
Selain itu, para politikus dan pihak berkepentingan aktif menggunakan teknik retorika yang canggih untuk membentuk persepsi masyarakat sesuai dengan tujuan mereka.
Era informasi digital membawa perubahan paradigma dalam penyebaran pesan politik. Media sosial dan berita online memungkinkan pesan politik tersebar cepat dan luas.
Manipulasi bahasa terjadi dalam konteks ini, menciptakan tantangan baru untuk demokrasi. Dengan informasi yang terus berkembang, menjadi kritis untuk mengevaluasi bagaimana manipulasi bahasa dapat memberikan dampak besar terhadap integritas demokrasi.
Manipulasi bahasa dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga demokratis. Politikus yang menggunakan retorika yang mengelabui atau menyajikan informasi palsu dapat merusak proses demokratis dengan mengubah persepsi publik.
Fenomena penyebaran berita palsu dengan cepat di media sosial menjadi salah satu dampak negatif yang perlu diatasi secara serius.
Kritis juga untuk menilai tanggung jawab media, regulasi, dan literasi informasi di masyarakat. Media memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang akurat dan seimbang.
Regulasi yang efektif diperlukan untuk mengatasi penyebaran informasi palsu dan memastikan integritas proses demokratis. Sementara itu, peningkatan literasi informasi di kalangan masyarakat dapat menjadi benteng pertahanan terhadap manipulasi bahasa dalam politik.
Politikus yang cerdas mengambil langkah pertama dalam manipulasi bahasa dengan pemilihan kata yang sangat cermat. Mereka tahu bahwa kata-kata yang mereka pilih akan membentuk opini publik.
Sebagai contoh, istilah "reformasi" dapat menciptakan harapan perubahan yang positif, sementara kata "stabilitas" dapat menggambarkan perlindungan. Bagaimana kata-kata ini dipilih dan digunakan dalam pidato politik dapat memengaruhi pandangan masyarakat dan pendukung politik.
Politikus seringkali menggunakan klise dan frasa umum dalam pidato mereka. Misalnya, istilah "perubahan yang kita butuhkan" adalah contoh klise yang sering digunakan untuk menarik perhatian pemilih.
Manipulasi bahasa dalam politik adalah senjata yang kuat. Namun, masyarakat yang sadar akan manipulasi bahasa ini dapat menjadi pertahanan terhadap penyebaran informasi palsu dan retorika yang tidak etis.
Melindungi demokrasi kita memerlukan kewaspadaan terhadap praktik manipulasi bahasa ini. Di dunia yang semakin terhubung, memahami bagaimana bahasa digunakan untuk memengaruhi pikiran dan tindakan kita adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih transparan dan manipulasi bahasa dapat dihadapi dengan kritis dan literasi informasi yang tinggi.